Jurnal Menjaga Kesehatan Mental Di Masa Pandemi
Jurnal Menjaga Kesehatan Mental Di Masa Pandemi – Krisis kesehatan mental adalah masalah besar yang terpisah dari penyakit COVID-19 itu sendiri dan dampak jangka panjang yang mungkin dialami banyak orang.
Nyoman Baskara, pendiri Agricultural Learning Center (ALC) sekaligus Ketua Yayasan Tamiang Bali Mandiri meninjau tanaman di sekitar taman ALC di Denpasar, sebelah utara Denpasar, Kamis (25 Februari 2021). Berkebun merupakan salah satu aktivitas yang tidak hanya menyediakan pangan bagi penghuninya, namun juga membantu mengurangi risiko stres.
Jurnal Menjaga Kesehatan Mental Di Masa Pandemi
Kecemasan, stres, depresi, dan kecemasan yang berujung pada gangguan kesehatan mental meningkat selama pandemi. Berdasarkan pengalaman satu tahun COVID-19 dan pembelajaran dari pandemi-pandemi sebelumnya, terdapat risiko bahwa gangguan ini akan terus berlanjut dalam jangka panjang. Mengurangi risiko gangguan kesehatan mental bergantung pada kecepatan dan ketepatan pemulihan dari epidemi.
Upk Kemenkes On X: “mari Bersama Menjaga Kesehatan Mental Di Masa Pandemi Covid-19 Sehingga Kesehatan Fisik Juga Dapat Terjaga Dengan Cara Berikut. Anda Juga Dapat Menghubungi Layanan Psikologi Sejiwa Melalui Nomor 119
1 tahun telah berlalu, namun krisis COVID-19 belum berakhir. Kasus COVID-19 semakin meningkat setiap harinya, begitu pula kematian akibat virus SARS-Cov2. Per 12 April 2021, data global menunjukkan ada 136 orang yang terinfeksi Covid-19,77 juta orang, di mana 2,95 juta orang di antaranya meninggal.
Vaksinasi telah dipercepat untuk mengurangi tingkat infeksi. Namun hal ini tidak menjamin pandemi akan berakhir dalam waktu dekat.
Menurut laporan Economist Intelligence Unit (EIU), target peluncuran vaksin global diperkirakan akan tercapai pada tahun 2023. Secara khusus, hal ini berarti 37 negara kemungkinan akan menyelesaikan vaksinasi pada tahun 2021, 67 negara pada tahun 2022, dan 84 negara pada tahun 2022. Tahun 2023. Meskipun Covid-19 merupakan wabah penyakit menular, namun diperkirakan wabah penyakit ini akan berakhir pada tahun 2023.
Tekanan-tekanan tersebut berujung pada pelemahan perekonomian dan perubahan kehidupan manusia yang terjadi selama pandemi. Pengangguran meningkat, PHK terjadi di mana-mana, industri dan usaha kecil kehilangan uang dan kita harus berhenti membuat kehidupan masyarakat menjadi penuh tekanan.
Di Dalam Tubuh Yang Sehat, Terdapat Jiwa Yang Kuat
Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian. Banyak orang merasa stres, depresi, kesepian, dan khawatir berlebihan sehingga berdampak pada kesehatan mentalnya. Survei kesehatan mental online yang dilakukan Persatuan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia (PDSKJI) antara April hingga Agustus 2020 menemukan adanya gangguan kesehatan mental selama pandemi Covid-19.
Sebanyak 64,8% responden menjawab mengalami masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan trauma. Gejala kecemasan yang paling umum adalah kekhawatiran akan hal buruk yang terjadi di masa depan, kekhawatiran berlebihan, dan mudah tersinggung. Sementara itu, gejala utama depresi meliputi gangguan tidur, kurang percaya diri, dan kelelahan.
Dokter. Adrian James, presiden Royal College of Psychiatrists, mengatakan kepada Guardian bahwa pandemi COVID-19 memiliki dampak terbesar pada kesehatan mental sejak Perang Dunia Kedua. Akibat pandemi yang tak kunjung usai dan lambatnya pemulihan perekonomian serta sektor kehidupan lainnya, kemungkinan terjadinya krisis kesehatan mental semakin besar.
Risiko terjadinya gangguan kesehatan mental berbeda-beda pada setiap orang. Perbedaan-perbedaan ini didokumentasikan dalam survei kolaboratif kesehatan mental di 26 negara yang diterbitkan dalam jurnal Wiley Public Health Emergency Collection.
Pengaruh Pandemi Covid-19 Terhadap Tingkat Stres Pada Masyarakat
Sebuah survei terhadap 53.524 responden menemukan bahwa tingkat stres lebih tinggi terkait dengan usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan wilayah tempat tinggal. Seiring bertambahnya usia, tingkat stres cenderung meningkat di masa muda. Banyak orang, termasuk perempuan, mereka yang lajang, dan mereka yang tinggal di daerah dengan kasus COVID-19 tinggi dan parah, juga berisiko mengalami stres.
Kata-kata Dr. Adrian James bukannya tanpa latar belakang. Krisis kesehatan mental adalah masalah besar yang terpisah dari COVID-19 itu sendiri karena dampak jangka panjang yang mungkin dialami banyak orang. Bahkan jika prevalensinya berhasil ditekan, gangguan mental jangka panjang dapat terjadi.
American Psychological Association mengeluarkan peringatan serupa berdasarkan temuan Survei Populasi Dewasa AS. Efek jangka panjang terhadap kesehatan mental akibat perubahan berat badan yang tidak diinginkan. Ini termasuk penambahan dan penurunan berat badan karena stres.
Enam dari 10 orang dewasa Amerika melaporkan perubahan berat badan karena stres. 42% responden melaporkan kenaikan berat badan, rata-rata 29 pon atau 13,2 kilogram. Sementara itu, 18% melaporkan penurunan berat badan rata-rata sebesar 26 pon atau 11,8 kg.
Mencegah Gelombang Pandemi Kesehatan Mental
Masalahnya adalah kenaikan berat badan yang signifikan menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang. Menurut National Institutes of Health, bertambahnya berat badan lebih dari 5 kilogram (11 pon) meningkatkan risiko berkembangnya diabetes tipe 2. Faktanya, jika berat badan Anda bertambah lebih dari 24 pon (10,9 kg), risiko Anda terkena stroke iskemik meningkat.
Selain itu, stres bisa membuat kita mengabaikan pola hidup sehat. Survei yang sama menemukan bahwa 67% responden merasa mereka kurang atau terlalu banyak tidur sejak pandemi. 23% meminum lebih banyak alkohol untuk menghilangkan stres selama pandemi.
Masyarakat menggunakan layanan bus KRL Maja-Tanah Abang pada Kamis (24 Desember 2020). Kaum muda termasuk di antara mereka yang terkena dampak epidemi Covid-19, baik dari segi pendidikan maupun peluang kerja di masa depan. Hal ini sering membuat saya merasa stres.
Peringatan mengenai dampak jangka panjang pandemi ini terhadap kesehatan mental didasarkan pada pengalaman masa lalu. Steven Taylor dalam bukunya Pandemic Psychology (2019) menemukan bahwa mereka yang kehilangan sanak saudara, sahabat atau kerabat akibat pandemi berisiko mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD). Paparan banyak kematian di lingkungan juga merupakan pemicu stres pada PTSD.
Cara Menjaga Kesehatan Mental Mahasiswa Selama Masa Pandemi
Hal ini ditunjukkan dengan pengalaman flu tahun 1918 dan wabah SARS tahun 2002-2003. Selama pandemi flu tahun 1918, hanya ada sedikit informasi mengenai dampak PTSD. Namun, banyak laporan menunjukkan bahwa beberapa orang yang menghadapi epidemi ini memiliki ingatan yang kuat, berulang, dan jelas tentang stres yang terkait dengan epidemi tersebut. Gejala PTSD muncul beberapa dekade setelah pandemi.
Pada saat yang sama, orang-orang yang dikarantina selama wabah SARS, bekerja di tempat-tempat dengan risiko infeksi yang tinggi, dan memiliki kerabat atau teman yang terinfeksi virus tersebut berisiko mengalami gejala PTSD. Orang yang termasuk dalam setidaknya salah satu kategori tersebut memiliki risiko 2-3 kali lebih tinggi terkena PTSD dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar hal-hal tersebut.
Penyintas COVID-19 juga menghadapi risiko kesehatan mental jangka panjang. Satu dari tiga penyintas COVID-19 berisiko mengalami gangguan otak atau mental seperti kebingungan, agitasi, dan depresi dalam waktu enam bulan, menurut penelitian dari Universitas Oxford.
Karena dampak tersebut, permasalahan kesehatan mental yang muncul selama pandemi ini tidak dapat diprediksi. Kesehatan mental kemungkinan besar akan tetap menjadi “epidemi” bahkan setelah pandemi ini berakhir. Mengabaikan perawatan kesehatan mental dapat menyebabkan peningkatan kejahatan dan bahkan bunuh diri.
Edukasi Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental Bagi Siswa Selama Pandemi
Jika dilihat dari penyebabnya, gangguan kesehatan mental seperti stres, depresi, dan ketakutan akan ketidakpastian disebabkan oleh situasi pandemi yang tidak berubah, situasi perekonomian yang belum pulih, dan perubahan kebiasaan gaya hidup yang begitu cepat. Kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi ini harus memperhatikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental masyarakat.
Mempercepat pemulihan kesehatan dan ekonomi komunitas kita berarti mengurangi risiko gangguan kesehatan mental di komunitas kita di masa depan. Pada saat yang sama, epidemi ini telah menyoroti masalah kesehatan mental yang sebelumnya dianggap tabu.
Ketika informasi mengenai kesehatan mental tersebar luas, masyarakat berharap dapat mengatasi perasaan stres, tegang, depresi, bahkan kecemasan berlebihan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengikuti pola makan digital, berhubungan dengan orang-orang terdekat, dan menerapkan gaya hidup sehat. (LITBANG) – Ketika sekolah diliburkan dan kegiatan penting dibatalkan, banyak remaja yang melewatkan beberapa momen terpenting dalam hidup mereka, serta momen sehari-hari seperti berbincang dengan teman dan berpartisipasi di sekolah.
Kaum muda tidak hanya kecewa dengan situasi ini, tetapi juga menghadapi situasi baru dengan rasa cemas dan beban rasa kesepian akibat perubahan cepat dalam hidup mereka akibat epidemi.
Vol. 2 No. 1 (2023): Jurnal Kesehatan Mental Indonesia
Sekitar 99% (2,34 miliar orang) anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun di seluruh dunia tinggal di salah satu dari 186 negara yang memberlakukan pembatasan pergerakan karena COVID-19, menurut analisis data yang disampaikan oleh UNICEF. Hingga 60% anak-anak tinggal di salah satu dari 82 negara yang sepenuhnya (7%) atau sebagian (53%) tertutup, setara dengan 1,4 miliar anak muda.
Berdasarkan Global Health Exchange Survey tahun 2017, terdapat 27,3 juta orang di Indonesia yang mengalami masalah kesehatan mental. Artinya 1 dari 10 orang di negara kita menderita penyakit jiwa.
Untuk data kesehatan jiwa remaja Indonesia tahun 2018, angka prevalensi Gangguan Jiwa dengan gejala depresi dan kecemasan pada remaja usia 15 tahun ke atas sebesar 9,8%, meningkat dibandingkan tahun 2013. Gejala depresi dan kecemasan pada remaja usia 15 tahun ke atas. Sedangkan pada tahun 2013, angka penyakit jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 1,2 per 1.000 penduduk.
Jika kesehatan mental remaja Anda tertekan, Anda mungkin akan melihat gejala-gejala seperti ekspresi wajah yang tidak termotivasi, nafsu makan menurun, pola tidur terganggu/sulit tidur, dan kecemasan berlebihan.
Penyintas Covid-19 Berisiko Alami Gangguan Mental
Hal yang dapat Anda lakukan untuk mengatasi kesehatan mental remaja Anda adalah dengan membantu mereka memahami bahwa kecemasan yang mereka alami adalah hal yang wajar. Kecemasan yang dialami remaja adalah hal normal dan sehat yang mengingatkan kita akan ancaman dan membantu kita mengambil langkah untuk melindungi diri.
Mencari informasi yang baik dari sumber terpercaya, mengurangi penggunaan media sosial, dan membatasi penayangan berita mengenai virus corona juga dapat mengurangi kecemasan remaja. Jika memungkinkan, orang tua dapat menjadi mitra bagi anak remajanya. Berikan ruang bagi remaja untuk menyampaikan kekhawatirannya kepada orang tua.
Tidak terlalu sering membicarakan virus corona atau mengalihkan perhatian dengan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat diduga dapat mengurangi kecemasan remaja dan mengurangi beban mereka.
Dorong remaja untuk menghubungi temannya untuk membangun komunikasi, berbagi cerita, dan mengungkapkan perasaannya. Hal ini akan membantu menghilangkan kebosanan generasi muda selama epidemi. Kesehatan Mental Siswa SMP dan SMA di Indonesia pada Masa Epidemi dan Faktor-Faktor yang Menyebabkannya (Diarsipkan pada 7 Oktober 2021) (Diterbitkan pada 28 Februari 2022)
Pentingnya Menjaga Kesehatan Jiwa Saat Pandemi Covid-19 Dilingkungan Masyarakat Rt 30 Kelurahan Air Hitam, Samarinda, Kalimantan Timur
Kesehatan mental remaja merupakan permasalahan penting yang memerlukan perhatian. Meluasnya penyakit Covid-19 membuat permasalahan ini semakin perlu mendapat perhatian serius dari para pemangku kepentingan, khususnya terkait penerapan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ditemukan banyak keluhan siswa mengenai pelaksanaan PJJ. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.